18.50

SURAT TERBUKA UNTUK KARTINI

By Inung Pratiwi

Duhai kartini, terimakasih telah engkau perjuangkan pendidikan untukku, untuk kamumu... kaummu kini bebas menuntut ilmu sebebas apapun yang mereka mau. Namun, ternyata perjuangan kini lebih berat, karena apa yang kita perjuangkan tak tampak oleh mata. Sebagai bagian dari kamumu, aku bahagia dapat belajar dan mengenyam pendidikan sedemikian tinggi. Namun sisi lain dari diriku takut bahwa ilmu yang aku kejar setiap hari hanya akan berbuah siksa. Sanggupkah aku menahan ego yang hanya memikirkan diriku dan namaku? Mampukah aku mempertahankan tugas utamaku sebagai wanita dengan pendidikan setinggi itu? Semoga pendidikan yang baik dapat membantuku menyelesaikan tugas-tugas yang menggelayut di pundak kehidupan ini.

Duhai kartini, bolehkah aku mengeluhkah perjuanganmu yang disalahartikan? aku kabarkan kepadamu bersama angin... tidak banyak wanita yang cerdas menelaah keinginanmu. pendidikan itu kau perjuangkan untuk meningkatkan derajat wanita namun wanita sendirilah yang kini merendahkan derajat itu dengan pendidikan. pendidikan itu kini ternoda dengan egoisme-egoisme dunia. duhai kartini, bagaimana kelak nasib kaummu? akibat ketidakcerdasan mereka menangkap tujuanmu, mereka memalingkan muka dari tugas-tugas yang begitu istimewa. peran istri hanya mereka dapat dengan adanya pernikahan, bukan seperangkat amanah yang begitu nikmat. mereka balas cinta dan kasih suami dengan pelayanan luar biasa dari seorang pembantu. mereka gantikan buaian lembut dan gendongan nyaman untuk anak-anak dengan tangan-tangan baby sister.

Ku kabarkan lagi kepadamu, duhai kartini. Begitu luar biasa kini kaummu meniti karier. Meniti puncak kepuasan tanpa berfikir bahwa ulah mereka telah membawa berita suram masa depan. Di depanku, anak-anak itu terlalu asik dengan game dan TV yang dipersembahkan dengan bangga oleh sang ibu. Di samping, sekelompok anak hura-hura karena hanya uanglah yang kaummu berikan sebagai bentuk kasih sayang. Di belakang, anak itu menderita karena narkoba terlebih mengingat bahwa keberadaan seorang ibu antara ada dan tiada bagi mereka.

Kartini, itulah potret kaummu sebagai ibu. Kini ku kabarkan kepadamu peran mereka sebagai generasi yang dinantikan oleh bangsa. Dulu, engkau berjuang untuk dapat keluar karena orang tua menjagamu begitu ketat karena begitu berharganya engkau di mata mereka. Namun kini, sang pemilik pun tidak mampu menghargai dirinya sendiri. Bersyukurlah engkau tidak melihat mereka menjajakan karunia indah itu dengan gratis. Bersyukurlah engkau tidak menghadapi kaummu sanggup menjadi pembunuh yang begitu kejam hanya utuk menuruti nafsu.

Duhai kartini, akankah habis terang akan datang gelap? Atau mampukah tangan-tangan kecil ini merubahnya hingga dapat menggenggam cahaya kejayaan yang mulia?

0 komentar: